Minggu, 20 November 2016

Perjalan Alfred Russel Wallace Di bumi Kiaraha


Alfred Russel Wallace O.M.F.R.S. (lahir 8 Januari 1823 – meninggal 7 November 1913 pada umur 90 tahun) dikenal sebagai seorang naturalis, penjelajah, pengembara, ahli antropologi dan ahli biologi dari Britania Raya. Ia terkenal sebagai orang yang mengusulkan sebuah teori tentang seleksi alam, dimana kemudian hari malah membuat Charles Darwin lebih terkenal dari dia dengan teorinya sendiri.

Ia banyak melakukan penelitian lapangan, dimana untuk pertama kalinya dilakukan di sungai Amazon pada tahun 1846saat ia masih berusia 23 tahun dan kemudian di Kepulauan Nusantara. Dia ketika itu mengoleksi aneka serangga dari ekspedisi Amazon. Kemudian koleksinya dia bawa pulang ke Eropa yang gandrung terhadap temuan baru dari belahan dunia lain. Koleksi serangga itu laku dijual dan modal itu menjadi titik awal penjelajahan Wallace di Nusantara. Pada perjalanan antara tahun 1848 hingga tahun 1854, Ia tiba di Singapura.
Selama delapan tahun kemudian (1854 - 1862)ia menjelajah berbagai wilayah di Nusantara. Dari penjelajahan itu, ia membukukannya ke dalam sebuah catatan yang berjudul The Malay Archipelago. Selama ekspedisinya di Nusantara, diperkirakan dia telah menempuh jarak tidak kurang dari 22.500 kilometer, melakukan 60 atau 70 kali perjalanan terpisah, dan mengumpulkan 125.660 spesimen fauna meliputi 8.050 spesimen burung, 7.500 spesimen kerangka dan tulang aneka satwa, 310 spesimen mamalia, serta 100 spesimen reptil.[1] Selebihnya, mencapai 109.700 spesimen serangga, termasuk kupu-kupu yang paling disukainya.

Kebiasaannya mencatat perjalanan dan menyelamatkan catatan-catatan itu dengan cara mengirimkan ke Inggris melalui pos kapal-kapal dagang Eropa, termasuk ketika singgah di Pulau Ternate antara tanggal 8 Januari 1858 dan 25 Maret 1858, ketika ia terserang malaria memaksakan diri menulis surat dan mengirimkan kepada ilmuwan pujaannya, Charles Darwindi Inggris.

"Surat dari Ternate" inilah yang kemudian menjadi tonggak penting bagi Darwin untuk menerbitkan bukunya, Origin of Species, pada 1859. Buku ini berisi proses seleksi alam yang memicu evolusi. Dari sini, Darwin dikenal sebagai Bapak Evolusi.

Surat yang dikirim Wallace itu memberi jawaban bagi Darwin tentang fenomena keberagaman hayati: the fittest would survive (individu inferior akan mati dan individu superior akan bertahan).

Surat berjudul ”On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type” itu membuka dialektika tentang siapa yang layak menyandang gelar sebagai penemu teori evolusi. Apakah Wallace lebih dulu atau Darwin? Bukankah Darwin baru menerbitkan teorinya setahun kemudian setelah surat Wallace?

Belakangan, dunia pengetahuan mengakui Wallace adalah penemu teori evolusi bersama-sama dengan Darwin. Sebelumnya, hanya Darwin yang menikmati popularitas sebagai penemu teori evolusi.

Ternate, yang menjadi tempat tinggal Wallace selama empat tahun dalam bertahun-tahun pengembaraannya di Nusantara, menjadi sangat populer. Ternate bukan lagi cengkeh dan pala semata, melainkan juga tempat Wallace menuliskan gagasan cemerlang. ”Surat dari Ternate” adalah khazanah berharga perjalanan pengetahuan modern.

Selama di Ternate, Wallace juga melahirkan karya hebat, di antaranya menemukan perbedaan karakteristik flora dan fauna berdasarkan lempeng bumi.

Sebuah garis maya dibuatnya untuk memisahkan antara flora-fauna di Indonesia bagian timur yang ada di Lempeng Australia dan Indonesia bagian barat yang berada di Lempeng Eurasia. Garis yang kemudian dikenal sebagai Garis Wallace ini terentang sepanjang Selat Makassar dan memanjang ke Selat Lombok.

Garis ini tak hanya mengisahkan jalan hidup flora-fauna antarlempeng yang terpisah laut dalam, tapi juga perbedaan karakteristik manusia yang dapat diamati. Wallace mengelompokkan manusia di Indonesia barat dalam ras Melayu dan ras Papua untuk manusia di Indonesia timur.

Di Maluku-lah kedua ras itu bertemu. Wallace menyebut penduduk di Pulau Obi, Bacan, dan Halmahera sebagai perpaduan ras Melayu dan Papua. Perpaduan inilah yang dibuktikan secara genetik pada 2011 oleh sejumlah ahli genetika Indonesia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat dalam ”Genetic Continuity Across a Deeply Divergent Linguistic Contact Zone in North Maluku, Indonesia.




Jejak Wallace

Walllace menjadikan Ternate sebagai tempat singgah dari pengembaraannya ke Halmahera, yang dulu disebutnya Gilolo (mengacu pada nama Kesultanan Jailolo), hingga ke New Guinea (Papua) dan pulau-pulau gunung api di sekitar Maluku untuk mengumpulkan beragam flora-fauna.

Dengan bersemangat Wallace berkisah tentang kota Ternate, yang dinaungi Gunung Gamalama. ”Letaknya sangat strategis sehingga pemandangan di segala penjuru tampak jelas.... Di balik kota, berdiri gunung api yang lerengnya landai dan tertutup pohon buah-buahan lebat,” tulis Wallace saat baru tiba di Ternate pada 8 Januari 1858.

Wallace juga membanggakan rumah di Ternate yang disewa empat tahun. ”Di samping untuk menyusun koleksi (flora-fauna), rumah itu saya perlukan guna memulihkan kesehatan dan mempersiapkan perjalanan-perjalanan berikutnya,” tulisnya.

Dia pun menggambar denah dan mendeskripsikan rumah yang ditinggalinya di Ternate itu. ”...sehingga memungkinkan pembaca untuk mengenal struktur bangunan di Ternate,” tulis Wallace. Di rumah inilah Wallace menulis ”Surat dari Ternate”.

Sekitar 154 tahun kemudian, jejak pengembaraan Wallace di Ternate nyaris tak meninggalkan jejak, selain gang kecil di Kelurahan Santiong, Ternate Tengah, yang diberi nama Lorong Alfred Russel Wallace.

Persis di samping gang itu, sebuah rumah yang kini dihuni keluarga Paunga Tjandra (63), diduga sebagai rumah tinggal Wallace selama di Ternate. ”Rumah ini dibeli ayah saya dari almarhum H Ucu Bai, warga di sini. Kami awalnya tidak tahu-menahu ini rumah Wallace,” kata Verjon Tjandra (35).

Verjon menunjukkan satu tiang tembok dan bekas sumur yang telah ditutup di pekarangan belakang rumah. ”Bekasnya, ya, hanya ini,” katanya. ”Banyak peneliti, sebagian bule, yang datang akhirnya kecewa karena memang hanya ini yang tersisa.”

Tiadanya jejak Wallace itu juga dikeluhkan Prof Sangkot Marzuki, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Wallacea Indonesia. Ahli genetika ini menulis komentar dalam buku The Malay Archipelago edisi Indonesia, Kepulauan Nusantara (2009).

"Alfred Russel Wallace adalah nama besar dalam jagat ilmu pengetahuan dunia. Namun, melalui bukti-bukti, peninggalan Wallace dengan nyata teraba dan dengan mudah teridentifikasi bahwa dia adalah bagian sejarah bangsa Indonesia...," tutur Sangkot. ”Ternate—tempat ia lama bekerja dan tempat sesungguhnya teori akbar mengenai evolusi lahir—sama sekali bersih dari tanda-tanda yang mengingatkan penemuan paling besar pada abad ke-19 itu. Sayang sekali.”

Pada tahun 2008, Yayasan Wallacea dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pernah berinisiatif mendirikan monumen Wallace di halaman rumah Paunga. Tujuannya untuk mengangkat kembali nama Wallace di Ternate. Namun, monumen itu hingga kini tak terwujud. Tiadanya kesepakatan harga tanah antara pemilik rumah saat ini dan pemerintah membuat situs sejarah itu terbengkalai.

Nama jalan di depan rumah itu pun sudah diubah. Nama jalan itu diubah menjadi Jalan AR Wallace pada 2008 dari sebelumnya bernama Jalan Nuri. Namun, tahun 2010, namanya diubah lagi menjadi Jalan Juma Puasa hingga sekarang



Penghargaan, honours, dan memorial

          - Menemukan kawah Piccollo Clinton di Planet Mars.
          - Ia telah mendapat Picadilly Piccolo Platinum Medals

Peringatan

Untuk memperingati 150 tahun surat yang juga dikenal orang sebagai 'Surat dari Ternate' tersebut, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasama dengan pemerintah kota Ternate dan Yayasan Wallacea menyelenggarakan Pra-Simposium pada tanggal 2-3 Desember 2008 di Ternate.
Pra Simposium dilakukan sebagai awal dari "International Symposium on Alfred Russel Wallace & The Wallacea", yang diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, bekerjasama dengan The Wallacea Foundation, LIPI, dan Conservation International. Kegiatan ini dilaksanakan di Kota Makassar antara tanggal 10-13 Desember. Keikutsertaan LIPI dalam kedua acara itu, terkait dengan Ekspedisi Widya Nusantara (E-Win) yang telah dilaksanakan pada tahun 2007.[4]
Nama Alfred Russel Wallace—yang sekitar satu abad yang lampau meninggal dunia—mempunyai ikatan kuat dengan negeri ini, sekurang-kurangnya karena tiga alasan. Pertama, Wallace melakukan penelitian alam selama bertahun-tahun di sebagian wilayah Nusantara. Kedua, dari penelitian inilah Wallace memikirkan apa yang juga dipikirkan oleh Charles Darwin, yang kemudian melahirkan teori evolusi. Ketiga, namanya terpateri hingga kini sebagai Garis Wallace—sebuah penghormatan atas keperintisannya dalam bidang zoogeografi.
Terinspirasi oleh kisah perjalanan Alexander von Humboldt, Charles Darwin, maupun William Henry Edwards ke rimba Amazon dan Galapagos, Wallace muda bertekad mengunjungi kawasan di Amerika Selatan itu. Ini adalah wilayah impian para naturalis dan, seperti dalam surat kepada sahabatnya Henry Bates, Wallace bermaksud “mengumpulkan fakta-fakta untuk memecahkan asal-usul spesies.” Bersama Bates, Wallace mendatangi wilayah itu berbekal pengalaman sebagai amateur entomologist.
Kendati dalam perjalanan pulang ke Inggris kapalnya terbakar di tengah lautan, yang melenyapkan sebagian besar catatan penelitiannya, Wallace mampu merampungkan enam tulisan akademis. Salah satunya ialah ‘On the Monkeys of the Amazon’ dan dua buah buku, Palm Trees of the Amazon and Their Uses dan Travels on the Amazon. Karya-karya inilah yang membukakan pintu panggung intelektual Inggris bagi Wallace dan namanya mulai dikenal oleh para naturalis masa itu.
Baginya, Amazon tak cukup. Hindia Timur menjadi tujuan impian berikutnya. Berangkat di usia 31 tahun (1854), Wallace berada di Nusantara dalam waktu yang lama, hingga 1862. Ia mengumpulkan lebih dari 125 ribu spesien hewan dan tanaman—sekitar 1.000 di antaranya merupakan spesies baru pada masa itu. Catatan studinya diterbitkan sebagai The Malay Archipelago (1869)—dapat dikata ini merupakan catatan akademis yang sangat populer pada abad 19.
The Malay Archipelago dicetak berulang kali hingga menjelang akhir abad 20 dan kini orang bisa mengaksesnya di Proyek Gutenberg (http://www.gutenberg.org/ebooks/author/955). Wallace berperan sangat penting dalam mengabarkan kepada dunia betapa kaya kawasan Hindia Timur ini sebagai sumber ilmu pengetahuan. Naturalis yang lebih senior, seperti Darwin dan Charles Lyell, mulai merujuknya—pengakuan yang memperkuat posisinya di panggung intelektual Eropa.
Beragam spesies itu membuat Wallace memikirkan ulang pemikiran sebelumnya. Dari kawasan Ternate, sebagai junior, Wallace mengirim surat dan esai mengenai evolusi alam kepada Darwin di London (1858). Surat-surat dari Ternate ini membikin Darwin terhenyak dan menyadari keserupaan ide Wallace dengan gagasannya sendiri. Darwin bergegas menerbitkan buku pentingnya, On the Origin of Species. Meski sempat menulis joint-paper bersama Darwin tentang evolusi, nama Wallace lama tak disebut.
Namun, momen historis ini mulai diungkap. Sejarawan sains maupun para natural scientist mulai mengakui kontribusi penting Wallace terhadap perumusan gagasan evolusi dan seleksi alam. Penghargaan terhadap ilmuwan yang rendah hati itu kini tersemat dalam atribusi yang lebih fair dan kian kerap dipakai, teori evolusi Darwin-Wallace. Sebutan ‘evolusionis yang terlupakan’ mulai surut.
Kontribusi Wallace sesungguhnya lebih dari itu. Bertahun-tahun hidup di Hindia Timur membuatnya memikirkan keanehan lain yang mengusik: mengapa hewan-hewan di wilayah ini seperti terpilah-pilah secara geografis. Menyusul terbitnya publikasi baru mengenai sistem klasifikasi, Wallace pun kian yakin bahwa hewan-hewan terdistribusi secara geografis. Obersevasinya mengenai perbedaan zoologis pada selat yang sempit di wilayah Timur ini mendorongnya untuk mengajukan gagasan tentang batas-batas zoogeografi.
Dua jilid buku The Geographical Distribution of Animals terbit pada tahun 1876. Boleh dikata, ini merupakan teks definitif mengenai zoogeografi yang tetap digunakan bahkan hingga seabad kemudian. Pemikiran penting Wallace dalam buku ini dilanjutkan melalui karya berikutnya, Island Life (1880), yang mengukuhkan dirinya sebagai perintis zoogeografi. Namanya diabadikan pada garis maya di Indonesia Timur, yang disebut Garis Wallace.
Di antara dua karya itu, Wallace menerbitkan Tropical Nature and Other Essays (1878). Menyadari betapa kayanya Hindia Timur, ia memperingatkan bahaya penggundulan hutan dan erosi tanah di wilayah ini. Dengan mengambil contoh pengalaman penanaman kopi di Sri Lanka dan Hindia, Wallace memperingatkan bahaya pembukaan lahan secara berlebihan di kawasan tropis—jauh sebelum orang-orang menyadari isu-isu lingkungan. Ia rupanya sudah mencium aroma ancaman terhadap lingkungan sejak ia memperkenalkan kawasan itu kepada dunia luar.
Sebagai orang yang pernah putus sekolah dan berasal dari keluarga yang tidak menonjol secara sosial, sungguh hebat bahwa Wallace mampu meraih posisi intelektual yang terdepan pada masanya. Wallace adalah orang besar yang tersembunyi oleh bayang-bayang Darwin. Dan, seratus tahun setelah kematiannya, kita di sini mungkin tidak pernah mengingat betapa Wallace telah sanggup menyingkapkan rahasia alam yang digali dari Nusantara, Bumi tempat kita hidup.
berbagai sumber






1 komentar:

  1. Citizen Titanium Dive Watch | The Best way to watch
    The watch titanium tv alternative was designed by Citizen, who was designing titanium armor the unique 2D camera angle-based watch. The watch titanium teeth dog was created with the thaitanium help of the urban titanium metallic

    BalasHapus