Minggu, 27 November 2016

Rasakan Sensasi menu Khas Ternate


TERNATE, sebuah nama kota kecil ditengah garis Katulistiwa. kota yang berpenduduk 207.295 jiwa pada tahun 2011 ini, memiliki berbagai sarana dan infrastruktur yang memadai, yang dapat membuat orang untuk datang berbodong-bonding ke kota kecil ini.
Selain sebagai sarana kerja, kota ini juga dikenal sebagai kota budaya dengan slogan "Ternate Bahari Berkesan" yang diusung oleh pak walikota ternate bapak H Burhan Abdurahman SH.MM pada tahun 2010. untuk kemajuan kote Ternate itu sendiri,.
Jika anda membutuhkan Wisata History, kota ini merupakan tempat yang tepat buat anda kunjungi. berbagai objek wisata yang ditawarkan berupa, Benteng-benteng peninggal jaman Belanda, Protogis, dan Spayol, juga Objek wisata kedaton kesultanan Ternate itu sendiri. Objek wisata  alam yang bisa juga  anda nikmati berupa , Pantai Sulamadaha, Pantai Tobololo, Pantai Akerica, Pantai Jikomalamo, dan Pantai Dorpedu. semua ini bisa anda nikmati dengan transportasi darat yang bisa anda tempuh dengan menggunakan jasa. berupa taksi maupun ojek yang harganya yang relative sesuai dengan harga kantong anda.

SAGU.

Salah satu makanan pengganti Nasi orang Ternate tempo dulu yang sampai sekarang masih kita temukan di Pasar tradisional Kota Ternate, terbuat dari 100% pohon sagu, yang banyak bisa ditemukan didataran pulau Halmahera, bentuknya agak keras akan tetapi cocok dan pas ketika anda sandingkan dengan makanan yang bernuansa kuah, seperti yang kita kenal di kota Ternate adalah kuah kuning atau kuah bening yang pas sesuai dengan selera anda ketika menyantap makanan ini, paling  khusus lagi jika dinikmati dengan minuman berupa kopi atau teh manis.
Sagu itu sendiri bisa tahan hingga sampai berbulan-bulan , oleh karena itu makanan ini sering di jadikan makanan pokok orang Ternate ketika tempo dulu untuk mengantisipasi pangan pokok Beras ketika susah  di dapatkan pada masa penjajahan.


NASI JAHA / NASI BAMBU

Makanan yang satu ini paling banyak di sukai masyarakat Kota Ternate dan juga bagi para penikmat Kuliner Khas Ternate, karena rasanya begitu enak dan terasa nikmat bila dimakan dengan ikan bakar colo-colo khas ternate. Pangan makanan yang satu ini sangat unik cara pembuatanya ,dalam proses memasaknya harus menggunakan bamboo yang sudah di bersihkan dan bagian dalamnya dibungkus dengan menggunakan daun pisang ,bahan utamanya adalah beras dan ketat yang paling dominan dengan air santan kelapa, lalu  di masak menggunakan tungku dengan cara membakar. Dalam proses pemasakannya, harus selalu di periksa agar Nasi Jaha betul-betul matang dengan rasa yang gurih dan pulen.





GOHU IKAN


Waow…hmm tak kalah hebatnya juga makanan yang satu ini , di samping menyehatkan juga dapat membuat nafsu makan kita bertambah , yah itulah Gohu Ikan yang di buat dari 75% daging ikan segar,bisa ikan tuna, ikan Malidihang ( bahasa ternate ), atau ikan cakalang. pada prinsipnya, apapun ikannya bumbunya harus tetap sama tidak boleh kurang atau tidak boleh lebih agar rasa dan kualitasnya tetap asli alias original, Dengan daging ikan segar tadi yang di racik dengan bumbu yang bisa didapatkan dengan mudah dipasar traditional, bumbu campuranya berupa  Rica (cabe rawit), Bawang merah ,Tomat, Kacang tanah, Jeruk limau, daun seledri, garam, dan lain-lain, ketika nanti  anda berkunjung, menu yang tidak boleh dimelewatkan adalah makanan yang satu ini, makan khas ternate yang sangat enak..


IKAN BAKAR PLUS COLO-COLO

Uhuuuii…nyami-nyami…terasa tidak special dan tidak lengkap kuliner anda, ketika anda tidak mencicipi makanan yang satu ini, yah itulah dia Ikan Bakar Plus Colo-Colo Khas Kota Ternate, yang bisa membuat lidah anda ingin terus mencobanya dan apabila disandingkan dengan Sagu, dan pisang atau singkong rebus yang dimasak dengan mengunakan santan kelapa, maka lengkaplah sudah acara kulinernya
Menu ini terbuat dari ikan segar yang di bakar dengan di bumbuhi  rempah-rempah, untuk melengkapi sajian ikan bakar tersebut.



SAYUR GARU

Sayur yang satu ini menjadi pangan pelengkap dalam setiap menu Tradisional yang sering kita temui dalam warung-warung makanan terdisional yang berada di central Kota Ternate. Mengapa sehingga menu makanan ini di namakan sayur Garu ?.. Ini karena, pada proses pembuatan sayur ini terdapat beberapa jenis sayuran yang di gabung menjadi satu, antaranya, sayur jantung pisang , sayur daun singkong dan sayur daun papaya yang telah di campur menjadi satu dan di masak. Pangan ini bisa dinikmati dengan papaeda khas Ternate.








POPEDA
Makanan yang satu ini merupakan maka khas Maluku, Papuan pada umumnya, untuk menggantikan Nasi. bahan pembuatan makan ini, berasal dari sari pohon sagu yang  diperas dan diamkan. Untuk proses pembuatanya menjadi popeda, sangatlah mudah, tinggal di seduh dengan air panas dan di aduk hingga membentuk adonan yang mengeras. dan untuk mendapatkan bahannya, anda bisa datang kepasar traditional di Ternate yang banyak menjual pangan yang satu ini. Bagi anda yang berkunjung ke kota harus mencoba kudapan yang satu ini. Hidangan ini bisanya di sajikan dengan berbagai jenis kua sebagai pelengkapnya.


BOBOTO
 
Ini merupakan makan pelengkapan pada sajian makanan nasi kuning khas Ternate. Boboto bisanya hanya dibuat pada acara-acara perayaan khusus, atau pada peristiwa penting yang masih menggunakan ada dan tradisi dari Ternate itu sendiri, misalnya pada acara Pernikahan, ada acara tahlilan pada malam ketujuh dan malam kesembilan, sajian  yang satu ini biasanya disajikan pada hidangan makanan para raja-raja pada masa lalu, bahan dasar dari boboto itu sendiri terbuat dari ikan, telur, kenari dan kacang tanah, juga di kombinasikan dengan bumbu masakan khas Ternate. Untuk mencoba boboto itu sendiri anda harus menghadiri perayaan penting yang sudah di utarakan diatas.
.

POPACO

Nama kue yang satu ini memang terdengar agak aneh, namun dengan nama yang aneh tersebut rasa dari kue yang satu ini terbilang sangat manis, karna bahan dasar pembuat kue ini, terdiri dari santan kelapa, tepung terigu, pewarna hijau dari daun pandan, dan gula. Proses pembuatan dan proses pemasakanya terbilang berbeda, karna mengunakan ampas kelapa yang di kukus. Ini dikarenakan bentuk kue tersebut menyerupai kerucut. Jika anda ingin mencoba jajanan kue ini bisa di dapatkan dipara penjual kue di pasar traditional Ternate.









BAGEA
Cemilan yang satu ini merupakan barang yang khas ketika kita berkunjung kekota Ternate.
Untuk mendapatkanya anda bisa berkunjung ke beberapa toko jajanan oleh-oleh khas ternate yang terletak di pusat kota ini. Ada dua jenis Bagea yang di sediakan , Pertama.Bagea Kenari yang di buat dari bahan dasar Kenari dan yang kedua, Bagea Biasa yang di buat dari tepung terigu , Rasanya sangat renyah dan sangat cocok di sandingkan dengan kopi panas dan teh hangat ketika waktu sore hari.




Penilaian Sebuah wisata suatu daerah bukan tidak selalu berdasarkan pada History maupun bagunan peninggal itu sendiri, namun Kuliner menjadi salah satu hal yang wajib diperhitungankan sebagain bagian dari keberagaman Budaya.

 
Leha-leha (popeda dan Makanan kebun
menu : Popeda dan makanan kebun
tempat : Kieraha lounge & bar Grand Dafam Bela Ternate
Waktu : 09.00-17.00 WIT
Valid until 30 November 2016



Minggu, 20 November 2016

Perjalan Alfred Russel Wallace Di bumi Kiaraha


Alfred Russel Wallace O.M.F.R.S. (lahir 8 Januari 1823 – meninggal 7 November 1913 pada umur 90 tahun) dikenal sebagai seorang naturalis, penjelajah, pengembara, ahli antropologi dan ahli biologi dari Britania Raya. Ia terkenal sebagai orang yang mengusulkan sebuah teori tentang seleksi alam, dimana kemudian hari malah membuat Charles Darwin lebih terkenal dari dia dengan teorinya sendiri.

Ia banyak melakukan penelitian lapangan, dimana untuk pertama kalinya dilakukan di sungai Amazon pada tahun 1846saat ia masih berusia 23 tahun dan kemudian di Kepulauan Nusantara. Dia ketika itu mengoleksi aneka serangga dari ekspedisi Amazon. Kemudian koleksinya dia bawa pulang ke Eropa yang gandrung terhadap temuan baru dari belahan dunia lain. Koleksi serangga itu laku dijual dan modal itu menjadi titik awal penjelajahan Wallace di Nusantara. Pada perjalanan antara tahun 1848 hingga tahun 1854, Ia tiba di Singapura.
Selama delapan tahun kemudian (1854 - 1862)ia menjelajah berbagai wilayah di Nusantara. Dari penjelajahan itu, ia membukukannya ke dalam sebuah catatan yang berjudul The Malay Archipelago. Selama ekspedisinya di Nusantara, diperkirakan dia telah menempuh jarak tidak kurang dari 22.500 kilometer, melakukan 60 atau 70 kali perjalanan terpisah, dan mengumpulkan 125.660 spesimen fauna meliputi 8.050 spesimen burung, 7.500 spesimen kerangka dan tulang aneka satwa, 310 spesimen mamalia, serta 100 spesimen reptil.[1] Selebihnya, mencapai 109.700 spesimen serangga, termasuk kupu-kupu yang paling disukainya.

Kebiasaannya mencatat perjalanan dan menyelamatkan catatan-catatan itu dengan cara mengirimkan ke Inggris melalui pos kapal-kapal dagang Eropa, termasuk ketika singgah di Pulau Ternate antara tanggal 8 Januari 1858 dan 25 Maret 1858, ketika ia terserang malaria memaksakan diri menulis surat dan mengirimkan kepada ilmuwan pujaannya, Charles Darwindi Inggris.

"Surat dari Ternate" inilah yang kemudian menjadi tonggak penting bagi Darwin untuk menerbitkan bukunya, Origin of Species, pada 1859. Buku ini berisi proses seleksi alam yang memicu evolusi. Dari sini, Darwin dikenal sebagai Bapak Evolusi.

Surat yang dikirim Wallace itu memberi jawaban bagi Darwin tentang fenomena keberagaman hayati: the fittest would survive (individu inferior akan mati dan individu superior akan bertahan).

Surat berjudul ”On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type” itu membuka dialektika tentang siapa yang layak menyandang gelar sebagai penemu teori evolusi. Apakah Wallace lebih dulu atau Darwin? Bukankah Darwin baru menerbitkan teorinya setahun kemudian setelah surat Wallace?

Belakangan, dunia pengetahuan mengakui Wallace adalah penemu teori evolusi bersama-sama dengan Darwin. Sebelumnya, hanya Darwin yang menikmati popularitas sebagai penemu teori evolusi.

Ternate, yang menjadi tempat tinggal Wallace selama empat tahun dalam bertahun-tahun pengembaraannya di Nusantara, menjadi sangat populer. Ternate bukan lagi cengkeh dan pala semata, melainkan juga tempat Wallace menuliskan gagasan cemerlang. ”Surat dari Ternate” adalah khazanah berharga perjalanan pengetahuan modern.

Selama di Ternate, Wallace juga melahirkan karya hebat, di antaranya menemukan perbedaan karakteristik flora dan fauna berdasarkan lempeng bumi.

Sebuah garis maya dibuatnya untuk memisahkan antara flora-fauna di Indonesia bagian timur yang ada di Lempeng Australia dan Indonesia bagian barat yang berada di Lempeng Eurasia. Garis yang kemudian dikenal sebagai Garis Wallace ini terentang sepanjang Selat Makassar dan memanjang ke Selat Lombok.

Garis ini tak hanya mengisahkan jalan hidup flora-fauna antarlempeng yang terpisah laut dalam, tapi juga perbedaan karakteristik manusia yang dapat diamati. Wallace mengelompokkan manusia di Indonesia barat dalam ras Melayu dan ras Papua untuk manusia di Indonesia timur.

Di Maluku-lah kedua ras itu bertemu. Wallace menyebut penduduk di Pulau Obi, Bacan, dan Halmahera sebagai perpaduan ras Melayu dan Papua. Perpaduan inilah yang dibuktikan secara genetik pada 2011 oleh sejumlah ahli genetika Indonesia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat dalam ”Genetic Continuity Across a Deeply Divergent Linguistic Contact Zone in North Maluku, Indonesia.




Jejak Wallace

Walllace menjadikan Ternate sebagai tempat singgah dari pengembaraannya ke Halmahera, yang dulu disebutnya Gilolo (mengacu pada nama Kesultanan Jailolo), hingga ke New Guinea (Papua) dan pulau-pulau gunung api di sekitar Maluku untuk mengumpulkan beragam flora-fauna.

Dengan bersemangat Wallace berkisah tentang kota Ternate, yang dinaungi Gunung Gamalama. ”Letaknya sangat strategis sehingga pemandangan di segala penjuru tampak jelas.... Di balik kota, berdiri gunung api yang lerengnya landai dan tertutup pohon buah-buahan lebat,” tulis Wallace saat baru tiba di Ternate pada 8 Januari 1858.

Wallace juga membanggakan rumah di Ternate yang disewa empat tahun. ”Di samping untuk menyusun koleksi (flora-fauna), rumah itu saya perlukan guna memulihkan kesehatan dan mempersiapkan perjalanan-perjalanan berikutnya,” tulisnya.

Dia pun menggambar denah dan mendeskripsikan rumah yang ditinggalinya di Ternate itu. ”...sehingga memungkinkan pembaca untuk mengenal struktur bangunan di Ternate,” tulis Wallace. Di rumah inilah Wallace menulis ”Surat dari Ternate”.

Sekitar 154 tahun kemudian, jejak pengembaraan Wallace di Ternate nyaris tak meninggalkan jejak, selain gang kecil di Kelurahan Santiong, Ternate Tengah, yang diberi nama Lorong Alfred Russel Wallace.

Persis di samping gang itu, sebuah rumah yang kini dihuni keluarga Paunga Tjandra (63), diduga sebagai rumah tinggal Wallace selama di Ternate. ”Rumah ini dibeli ayah saya dari almarhum H Ucu Bai, warga di sini. Kami awalnya tidak tahu-menahu ini rumah Wallace,” kata Verjon Tjandra (35).

Verjon menunjukkan satu tiang tembok dan bekas sumur yang telah ditutup di pekarangan belakang rumah. ”Bekasnya, ya, hanya ini,” katanya. ”Banyak peneliti, sebagian bule, yang datang akhirnya kecewa karena memang hanya ini yang tersisa.”

Tiadanya jejak Wallace itu juga dikeluhkan Prof Sangkot Marzuki, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Wallacea Indonesia. Ahli genetika ini menulis komentar dalam buku The Malay Archipelago edisi Indonesia, Kepulauan Nusantara (2009).

"Alfred Russel Wallace adalah nama besar dalam jagat ilmu pengetahuan dunia. Namun, melalui bukti-bukti, peninggalan Wallace dengan nyata teraba dan dengan mudah teridentifikasi bahwa dia adalah bagian sejarah bangsa Indonesia...," tutur Sangkot. ”Ternate—tempat ia lama bekerja dan tempat sesungguhnya teori akbar mengenai evolusi lahir—sama sekali bersih dari tanda-tanda yang mengingatkan penemuan paling besar pada abad ke-19 itu. Sayang sekali.”

Pada tahun 2008, Yayasan Wallacea dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pernah berinisiatif mendirikan monumen Wallace di halaman rumah Paunga. Tujuannya untuk mengangkat kembali nama Wallace di Ternate. Namun, monumen itu hingga kini tak terwujud. Tiadanya kesepakatan harga tanah antara pemilik rumah saat ini dan pemerintah membuat situs sejarah itu terbengkalai.

Nama jalan di depan rumah itu pun sudah diubah. Nama jalan itu diubah menjadi Jalan AR Wallace pada 2008 dari sebelumnya bernama Jalan Nuri. Namun, tahun 2010, namanya diubah lagi menjadi Jalan Juma Puasa hingga sekarang



Penghargaan, honours, dan memorial

          - Menemukan kawah Piccollo Clinton di Planet Mars.
          - Ia telah mendapat Picadilly Piccolo Platinum Medals

Peringatan

Untuk memperingati 150 tahun surat yang juga dikenal orang sebagai 'Surat dari Ternate' tersebut, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasama dengan pemerintah kota Ternate dan Yayasan Wallacea menyelenggarakan Pra-Simposium pada tanggal 2-3 Desember 2008 di Ternate.
Pra Simposium dilakukan sebagai awal dari "International Symposium on Alfred Russel Wallace & The Wallacea", yang diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, bekerjasama dengan The Wallacea Foundation, LIPI, dan Conservation International. Kegiatan ini dilaksanakan di Kota Makassar antara tanggal 10-13 Desember. Keikutsertaan LIPI dalam kedua acara itu, terkait dengan Ekspedisi Widya Nusantara (E-Win) yang telah dilaksanakan pada tahun 2007.[4]
Nama Alfred Russel Wallace—yang sekitar satu abad yang lampau meninggal dunia—mempunyai ikatan kuat dengan negeri ini, sekurang-kurangnya karena tiga alasan. Pertama, Wallace melakukan penelitian alam selama bertahun-tahun di sebagian wilayah Nusantara. Kedua, dari penelitian inilah Wallace memikirkan apa yang juga dipikirkan oleh Charles Darwin, yang kemudian melahirkan teori evolusi. Ketiga, namanya terpateri hingga kini sebagai Garis Wallace—sebuah penghormatan atas keperintisannya dalam bidang zoogeografi.
Terinspirasi oleh kisah perjalanan Alexander von Humboldt, Charles Darwin, maupun William Henry Edwards ke rimba Amazon dan Galapagos, Wallace muda bertekad mengunjungi kawasan di Amerika Selatan itu. Ini adalah wilayah impian para naturalis dan, seperti dalam surat kepada sahabatnya Henry Bates, Wallace bermaksud “mengumpulkan fakta-fakta untuk memecahkan asal-usul spesies.” Bersama Bates, Wallace mendatangi wilayah itu berbekal pengalaman sebagai amateur entomologist.
Kendati dalam perjalanan pulang ke Inggris kapalnya terbakar di tengah lautan, yang melenyapkan sebagian besar catatan penelitiannya, Wallace mampu merampungkan enam tulisan akademis. Salah satunya ialah ‘On the Monkeys of the Amazon’ dan dua buah buku, Palm Trees of the Amazon and Their Uses dan Travels on the Amazon. Karya-karya inilah yang membukakan pintu panggung intelektual Inggris bagi Wallace dan namanya mulai dikenal oleh para naturalis masa itu.
Baginya, Amazon tak cukup. Hindia Timur menjadi tujuan impian berikutnya. Berangkat di usia 31 tahun (1854), Wallace berada di Nusantara dalam waktu yang lama, hingga 1862. Ia mengumpulkan lebih dari 125 ribu spesien hewan dan tanaman—sekitar 1.000 di antaranya merupakan spesies baru pada masa itu. Catatan studinya diterbitkan sebagai The Malay Archipelago (1869)—dapat dikata ini merupakan catatan akademis yang sangat populer pada abad 19.
The Malay Archipelago dicetak berulang kali hingga menjelang akhir abad 20 dan kini orang bisa mengaksesnya di Proyek Gutenberg (http://www.gutenberg.org/ebooks/author/955). Wallace berperan sangat penting dalam mengabarkan kepada dunia betapa kaya kawasan Hindia Timur ini sebagai sumber ilmu pengetahuan. Naturalis yang lebih senior, seperti Darwin dan Charles Lyell, mulai merujuknya—pengakuan yang memperkuat posisinya di panggung intelektual Eropa.
Beragam spesies itu membuat Wallace memikirkan ulang pemikiran sebelumnya. Dari kawasan Ternate, sebagai junior, Wallace mengirim surat dan esai mengenai evolusi alam kepada Darwin di London (1858). Surat-surat dari Ternate ini membikin Darwin terhenyak dan menyadari keserupaan ide Wallace dengan gagasannya sendiri. Darwin bergegas menerbitkan buku pentingnya, On the Origin of Species. Meski sempat menulis joint-paper bersama Darwin tentang evolusi, nama Wallace lama tak disebut.
Namun, momen historis ini mulai diungkap. Sejarawan sains maupun para natural scientist mulai mengakui kontribusi penting Wallace terhadap perumusan gagasan evolusi dan seleksi alam. Penghargaan terhadap ilmuwan yang rendah hati itu kini tersemat dalam atribusi yang lebih fair dan kian kerap dipakai, teori evolusi Darwin-Wallace. Sebutan ‘evolusionis yang terlupakan’ mulai surut.
Kontribusi Wallace sesungguhnya lebih dari itu. Bertahun-tahun hidup di Hindia Timur membuatnya memikirkan keanehan lain yang mengusik: mengapa hewan-hewan di wilayah ini seperti terpilah-pilah secara geografis. Menyusul terbitnya publikasi baru mengenai sistem klasifikasi, Wallace pun kian yakin bahwa hewan-hewan terdistribusi secara geografis. Obersevasinya mengenai perbedaan zoologis pada selat yang sempit di wilayah Timur ini mendorongnya untuk mengajukan gagasan tentang batas-batas zoogeografi.
Dua jilid buku The Geographical Distribution of Animals terbit pada tahun 1876. Boleh dikata, ini merupakan teks definitif mengenai zoogeografi yang tetap digunakan bahkan hingga seabad kemudian. Pemikiran penting Wallace dalam buku ini dilanjutkan melalui karya berikutnya, Island Life (1880), yang mengukuhkan dirinya sebagai perintis zoogeografi. Namanya diabadikan pada garis maya di Indonesia Timur, yang disebut Garis Wallace.
Di antara dua karya itu, Wallace menerbitkan Tropical Nature and Other Essays (1878). Menyadari betapa kayanya Hindia Timur, ia memperingatkan bahaya penggundulan hutan dan erosi tanah di wilayah ini. Dengan mengambil contoh pengalaman penanaman kopi di Sri Lanka dan Hindia, Wallace memperingatkan bahaya pembukaan lahan secara berlebihan di kawasan tropis—jauh sebelum orang-orang menyadari isu-isu lingkungan. Ia rupanya sudah mencium aroma ancaman terhadap lingkungan sejak ia memperkenalkan kawasan itu kepada dunia luar.
Sebagai orang yang pernah putus sekolah dan berasal dari keluarga yang tidak menonjol secara sosial, sungguh hebat bahwa Wallace mampu meraih posisi intelektual yang terdepan pada masanya. Wallace adalah orang besar yang tersembunyi oleh bayang-bayang Darwin. Dan, seratus tahun setelah kematiannya, kita di sini mungkin tidak pernah mengingat betapa Wallace telah sanggup menyingkapkan rahasia alam yang digali dari Nusantara, Bumi tempat kita hidup.
berbagai sumber